Rabu, 18 Mei 2016

MAKALAH MASYARAKAT MADANI




KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan akan kurangnya pengetahuan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah inin dapat terselesaikan , walaupun masih terdapat kekurangan didalamnya.
Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Allah SWT
Drs. Sakrim Miharja, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan masukan-masukannya.
Kedua orang tua yang telah memberi dukungan baik secara materi ataupun moral.
Dan kepada teman-teman,terimakasih telah memberi dukungan dan doanya.
Penulis menyadari makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengaharapkan adanya kritik dan saran yang positif supaya makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.





Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
   Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B. Perumusan Masalah
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.”

C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini didedikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan.



BAB II
MASYARAKAT MADANI

A. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Kemungkinan akan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komonitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang yakni masyarakat madani. Marupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadinya masa transformasi dari masyarakat feodal manuju masyarakat barat modern yang lebih terkenal lagi dengan civil society.
Dalam mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social cultular suatu bangsa,karena tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disisi dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani :
Pertama; Definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
            Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civilsociety
            Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentinganpublik.
           
Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa definisi di atas pengertian masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Untuk memahami masyarakat Madani terlebih dahulu harus dibangun paradigma bahwa konsep masyarakat Madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, melainkan merupakan sebuah proses wacana yang harus dipahami sebagai suatu proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah dianalisis secara historik.
Seperti telah dipaparkan di atas, bahwa wacana masyarakat Madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses tranformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan  masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat Madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan De’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Raharjo, wacana masyarakat madani sudah mengemukakan pada masa Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat Madani dipahami sebagai kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas percaturan tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah Koinonia politike yang dikemukakan oleh Aistoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah Societe civiole, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai satu kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat Madani yang eksentuasinya pada sistem kenegaraan dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes, (1588-1679M) dan Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat Madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara Jhon Locke, kehadiran masyarakat Madani dimaksudkan untuk menlindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depositme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.
Kemudian pada tahun 1972, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1973-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1832 M), Karl Marx (1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1873). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini  lebih merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani merupakan kelompok bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subkordinatif dari negara. Pemahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (Burgerlische gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan dari dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 (tiga) entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan politik golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani. Oleh karenanya, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena negara sekali lagi merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara politik bisa berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat madani pada kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada intuisi yang lebih tinggi, yakni negara. Karenaya, negara dan masyarakat madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada  sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakannya pada superstaruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perbuatan posisi hegemonik di luar kekuatan negara. Membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial politik. Gramsci dengan demikian melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di  dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegeilen, paradigma de’ Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai sesuatu yang apriori subordinatif terhadap  negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan  penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensionis negara. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negra serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflective-force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada ketinggian individual, tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.
Dari berbagai model pengembanganm madani di atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar dasawarsa 80-an. Pengalaman Eropa Tengaj dan Timur tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.

            C. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8.      Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.      Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.  Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11.  Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.  Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.  Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14.  Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).




Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sebagai berikut:
1.      Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.      Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3.      Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.      Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.      Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.      Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.      Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1.      Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2.      Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
3.      Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
4.      Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
5.      Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.

            D. PILAR PENEGAK
Yang dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut antara lain adalah:

1.      Lembaga Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat yang tugas esensinya adalah membantu dan menperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.
2.      pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
3.      Supremasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4.      Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.

5.      Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi            politiknya

E. MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI

            Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawan bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses demokrasi;
Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara.
Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi.
Ketiga, Memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
Keempat ikut menjaga stabilitas Negara.
Kelima, tempat pimpinan politik dan
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.

            Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif Negara.
Dalam masyarakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian.
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyrakat madani dari tekanan dan Negara

F.MASYARAKAT   MADANI       INDONESIA
            Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
            Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.
Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
            Menurut Dewan ada tiga Strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani Indonesia.
1.       Strategi yang lebih mementingkan intregrasi nasional dan politik, Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung, dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.       Strategi yang kuat mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi, Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3.       Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokrasi.

            G. NGO DAN MASYARAKAT MADANI   
Istilah organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Governmental Organization) yang telah lama dikenal dalam pergaualan internasional. Istilah NGO merujuk pada organisasi nonnegara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB atau mitra organisasi ini ketika berinteraksi dengan organisasi nonpemerintah. Istilah itu perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional.
Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing ini tidak memunculkan persoalan. Namun, saat dialihbahasakan dari NGO menjadi organisasi nonpemerintah dalam sebuah Konferensi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada 1976, pemerintah Indonesia bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang sependapat dengan istilah itu karena dinilai merujuk pada dikotomi ideologis maupun politis antara pemerintah (government) dan nonpemerintah (non-goverenment). Mereka yang tidak setuju menggunakanistilah itu, berargumen bahwa pengertian organisasi nonpemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organsiasi pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga, dan lain-lain. Padahal NGO yang dimaksud lebih khusus, yaitu berhubungan langsung dengan pembangunan.
 Berdasarkan pengalaman sejarah, dikenal istilah “Non” dan “Co”: ketika dijajah Belanda, ada sekelompok masyarakat yang bekerja sama dengan Belanda (golongan Co) dan ada kelompok yang menolok kerja sama (golongan Non). Istilah NGO atau organisasi nonpemerntah dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah.  


BAB III
KESIMPULAN
Kemungkinan akan adanya kekuatan civic sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani.Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosiokultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma terakhir dari sejarah perdaulatan bangsa Eropa Barat. Menurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah komunitas politik tempat earga dapat terlibat langsung dalam berbagai peraturan ekonomi politik dan penagmbilan keputusan). Karakteristik masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalma penegakkan masyarakat madani. Dan masyarakat madani juga harus mampunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.  Hubungan antara masyarakat madani dengan demokratis menurut Dewan bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya bersifat ko-eksistensi. Berkembanganya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat,berserikat,dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan denagn munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.








DAFTAR PUSTAKA

http://yanawulan.blogspot.com/2012/06/pengertian-masyarakat-madani-dan.html

http://www.masbied.com/2012/02/14/sejarah-perkembangan-masyarakat-madani/

http://makalah85.blogspot.com/2008/12/masyarakat-madani.html


Tokoh-tokoh Sosiologi Modern



TALCOT PARSONS
A.    Biografi
Talcot parsons lahir di Colorado Spring pada tahun 1902. Ia berasal dari keluarga yang religius dan intelektual. Ayahnya seorang pendeta, profesor dan kemudian menjadi rektor di perguruan tinggi kecil. Talcot Parson meraih sarjana muda pada universitas Amherst pada tahun 1924 dan menyiapkan disertasinya di London school of Economic. Di tahun berikutnya ia pindah ke Hiedlberg Jerman. Karirnya dimulai saat ia mengajar di Hielberg dan Harvard pada tahun 1927 meski beberapa kali pindah jurusan tetapi ia tetap disana sampai akhir hayatnya. Karirnya tidak terlalu cepat, sampai tahun 1939 ia tidak mendapat gelar professor. Pada tahun 1973 Parsons menerbitkan The Structure of Social Action sebuah uku yang tidak hanya memeperkenalkan pemikiran Sosiologi utama seperti Weber akan tetapi meletakan landasan bagi teori yang dikmbangkan oleh Parsons Sendiri. Ia menjadi kajur Sosiologi Harvard pada tahun 1944 dan pada tahun 1946 mendirikan Departeen hubungan sosial. Dengan diterbitkannya The Social System pada tahun 1951 ia menjadi tokoh dominan Sosiologi Amerika. Tetapi, di akhir 1960an Parson mendapat serangan dari sayap radikal Sosiologi Amerika yang baru muncul. Parson di nilai berpandangan berpolitik konservatif dan teorinya di anggap sebagai konservatif dan tidak lebih dari sebuah skema kategorosasi yang rumit dan sullit dipahami.
Parsons sangat dipengauhi oleh karya Weber meski ia meninggal 5 tahun sebelum kedatangan Parsons, dan karya-karya Parson dan sebagian disertasi doktoralya di Hiedelberg. Talcot Parsons meninggal pada tahun 1979.



B.     Teori
Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
Fngsionalisme Struktural
Teori Struktural fungsional Parsons diawali dengan empat skema penting mengenai fungsi untuk sistem tindakan, skema tersebut dikenal dengan sekema AGIL. Ita harus tahu dulu fungsi disini, fungsi disini adlah kumpulam kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan sistem.
Meurut Parsons ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem sosial yang meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan Goal Attainment (G), integrasi (I), dan latensi (L). Empat fungsitersebut wajib dimiliki semua sistem agar tetap bertahan.
Penjelsannya sebagai berikut:
a.       Adaption         : System harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi yang gawat dan sistem harus bsa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dapat meneyesuaikan lingkugan untuk kebutuhannya.
b.      Goal Attaintment        : Yaitu pencapaian tujuan dimana sistem harus dapat mendefininisikan dan mencapai tujuannya.
c.       Integrasi          : sebuah sistem haru mampu mengatur dan menjaga antar bagian-bagian yang menjadi komponennya dan mengelola ketiga fungsi (AGL)
d.      Latensi            : Sistem harus mampu berfungsi sebagi pemelihara pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi polapola individu kultural.
Adapun komponen dari sistem secara general (umum) dari suatu aksi adalah: Keturunan & Lingkungan yang merupakan kondisi akhir dari suatu aksi, Maksud & Tujuan,  Nilai Akhir,  dan hubungan antara elemen dengan faktor normatif (Bachtiar, Wardi Prof.Dr, 2006:312).

C.     Kritik
Penagnut teori ini cenderung memaksakan pada tingkatan masyarakat yang harmonis. Padahal, dalam suatu masyarakat tidak selamanya harmonis dan pasti mengalami konflik. Dalam konflik ini, akan terjadi perpecahan dalam masyarakat dan menimbulkan guncangan dalam sistem. Bisa saja sistem yang sudah terbentuk menjadi hilang. Fungsionalis yang berlebihan pada posisi masyarkat harmonis dan mengabaikan konflik dalam masyarakat.
Teori ini terlalu kaku dalam melihat perubahan terutama yang berasal dari luar. Teori ini hanya berfokus pada kondisi masyarakat yang stabil, padahal kehidupan masyarakat berjalan diamis.
Terlalu memandang masyarakat harmonis dan mengabaikan konflik sosial, fugsionalis cenderung mempertahankan pengaturan yang telah ada dalam sebuah masyarkat.

D.    Karya

ROBERT K. MERTON
A.    Biografi
Robert King Merton lahir pada 4 Juli 1910 bertempat di Philadelphia Selatan. Ia tinggal di pemukiman kumuh, ayahnya seorang tukang kayu dn sopir truk. Keluarganya adalah imigran Yahudi. Merton dibesarkan dalam semangat belajar yang tinggi, ia sering di temukan membaca buku di Carniegie Library pada masa kanak-kanaknya.
Merton merupakan anak yang panda, sehingga karena kepandaiannya ia mendapat beasiswa di universitas Temple dan mendapatkan gelar B.A. ia menjadi tertarik dengan Sosiologi dan kemudian ia mengambl rangkaian pelajaran Sosiologi yang diajarkan oleh Goergoe E. Simpson. Karena kepandaiannya ia kembali mendapatkan beasiswa dan mendpatkan gelar MA dan Ph.D dari universitas Harvard. Merton mempunyai dua istri yang pertama Suzanne Carhart dan keduan sama-sama sebagai sosiolog yaitu Harriet zuckermen.
Selama di Harvard, Merton belajar kepada P.A Sorokin, yang mengarahkannya kepada pemikiran sosial Eropa. Lalu Talcot Parsons yang lebih muda darinya melalui gagasan yang tertuang dalam karyanya Struktur os Social Action. Kemudian kepada ahli biokimia yang terkadang juga menjadi sosiolog yaitu L.J Henderson, yang mengajarkannya tentang penelitian berdisiplin tentang hal-hal yang dianggapnya menarik. Pada sejarawan ekonomi, E.F Gay, yang mengajarkannya tentang perkembangan ekonomi. Mereka pulalah yang mempengaruhi pemikiran Robert K. Merton
Merton wafat pada tanggal 23 Februari 2003 dengan usia 93 tahun.


B.     Teori
Model struktural fungsional
Merto Mengkritik yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional yang dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe Brown. Postulat pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat yang menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan prktik sosial budaya bersifat fungsional bagi masyarakat maupun individu yang menagndung arti berbagai sistem sosial pasti menunjukan tingginya level integrasi. Namun, Merton berpandangan bahwa meski hal ini berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini dapat diperluas pada masyarakat yang lebih luas dan komplek.
Postulat yang kedua adalh fungsionalisme universal. Yang meyatakan semua bentuk struktur sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton berpandangan bahwa ini bertentangan degan kehidupan  nyata. Menurutnya setiap struktur, adat istiadat, gagasan, keyakina dll tidak selalu mempunyai fungsi positif. Sebagi contoh nasionalisme buta bisa jadi berbahaya di tengah dunia yan sedang mengembangkan persenjataan nuklir.
Postulat yang ketiga adalah indispensabilitas. Yang menyatakan seluruh aspek standar masyarakat tak hanhya memiliki fungsi positif namun juga mepresentasikan bagian-bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengacu bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Kritik Merton, mengikuti Parsons adalah paling tidak kita harus mengakui bahwa ada bebagai alternatif struktural dan fungsional dalam masyarakat.
Pendapat merton adalah postulat terebut tidak empiris yang diadasarkan pada toritis abstrak. Dan menjadi tanggung jawab sosiolog untuk membuat postulat tersebut menjadi empiris.
C.     Kritik
Fungsionalisme struktural tidak terlalu membahas sejarah, karenanya ia bersifat ahistoris. Fungsinalisme terlalu mngkritik evolusi dan mulai memusatkan perhatiannya pada masyarakat kontemporer ataupun masyarakat abstrak, namnun fungsionalisme tidak mesti ahistoris (Turner dan Maryanski)
LEWIS COSSER
A.    Biografi
Lewis Alfred Coser  ( biasa di singkat Lewis A. Coser ) lahir di Berlin, tahun 1913. Ia menggabungkan karier akademik yang istimewa dengan perhatian kuat atas kebijakan social dan politik. Setelah Perang Dunia ke II, ia mengajar di Universitas Chicago dan Universitas Brandeis, namun gelar Ph.D-nya didapat dari Universitas Columbia pada 1968. Gelar guru besar didapat dari universitas Brandeis, kemudian di Universitas ini pula Coser banyak berkiprah di dunia sosiolog.
B.     Teori
Fungsional Konflik
Konflik pada hakekatnya merupakan suatu pertentangan yang diakibatkan oleh kondisi sosial yng tidak sesuai dalam suatu kelompok maupun antar kelompok yang berujung pada pertikaian. Akn tetapi, konflik juga dapat diartikan sebagai proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok, selain itu konflik antar kelompok dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Coser menjelaskan beberapa manfaat konflik antara lain:
a.       Konflik dapat memperkuat solidaritas suatu kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam perpecahan, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan.
b.      Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain.
c.       Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif.
d.      Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi.

    Katup penyelamat( savety velve).
Katup penyelamat ( savety valve) dapat diartikan sebagai jalan keluar dari permasalahan, misalnya maslah kerusuhan antara dua kelompok, maka di butuhkan mediator maka mediator tersebutlah yang disebut sebagai katu  penyelamat.
C.     Kritik
Secara umum, Coser melihat konflik lebih pada fungsinya dan nilai-nilai positifnya merupakan sesuatu yang baik. Akan tetapi, konflik tetaplah konflik yakni sesuatu yang bersifat negatif dan bila intensitas konflik terlalu sering maka akan menjadi ancaman bagi eksistensi suatu masyarakat.




RALF DAHRENDORF
A.    Biografi
Nama lengkapnya adalah Ralf Gustav Dahrendorf. Lahir pada tanggal 1 Mei 1929 di Hamburg, Jerman. Saat berumur belasan tahun di Nazi German, Ralf Dahrendorf ikut  pemusatan kemah dalam menentang negaranya sehingga lama kelamaan ia masuk dalam dunia politik.
Dahrendorf menjadi anggota Parlemen Daerah dan menjadi Parlemen di Jerman Barat. Dia pernah bekerja pada akademik di Jerman, Inggris dan Amerika Serikat. Beliau adalah seorang tokoh sosiologi, philosophi dan tokoh politik. Beliau adalah seorang tokoh pemikir yang memberikan kontribusinya pada masyarakat mengenai pengertiannya tentang dunia modern.
Pada tahun 1947-1952 dia belajar philosophi, philoshophy klasik dan sosiologi di Hamburg dan London. kemudian dia menjadi doctor of Philosophy (dr. Phil ) dan  menjadi 24 honorer yang diterima kemudian mendapat gelar PhD di London School of Economic. 1952-1954 beliau mengajar di universitas Saabrucken kemudian masuk menjadi republik Federal German sebelum diajukan belajar di pusat ilmu tingkah laku Palo Alto.
Pada tahun1958-1960 bergerak ke universitas Tubingan selama enam tahun. Pada tahun 1966-1969, beliau mengajar di universitas Konstanz. Tahun 1969-1970 beliau menjadi anggota dari the European Economics Comunity di Brussel, Belgium.  tahun 1974- 1984 beliau kembali lagi menjadi profesor ilmu sosial selama tiga tahun dan menjadi seorang direktur pada sekolah tinggi ekonomi di London.




B.     Teori
Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya. Teori konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak diterbitkannya buku “Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada tahun 1959.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
C.     Kritik
Dahrendorf tidak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian. Teori konflik ini adalah tejemahan dari teori Marxian dalam sosiologi. Kedua teori konflik lebih banyak kesamaannya dengan fungsionalisme struktural dibanding dengan teori Marxian . penekanan Dahrendorf  pada sistem sosial (asosiasi yang yang di koordinasikan secra paksa). Ketiga seperti fungsionalisme structural, teori konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada kita untuk memahami pikiran dan tindakan individu.





Charles Wright Mills
A.    Biografi
Charles Wright Mills kelahiran Waco, Texas, Amerika Serikat. C. Wright Mills lahir pada tanggal 28 Agustus 1916 di Waco, Texas. Ayahnya adalah putih broker asuransi dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, dan mereka dari keturunan Irlandia-Inggris. Keluarga yang dipindahkan dari tempat ke tempat di Texas, tinggal di Waco, Wichita Falls, Fort Worth, Sherman, Dallas, San Antonio dan Austin.
Setelah lulus dari Dallas Technical High School pada tahun 1934, antisipasi karir sebagai seorang insinyur, Mills memasukkan Texas Agricultural & Mechanical College, sebuah sekolah yang besar militer ayahnya berpikir akan membuat seorang dari dia. Sebagai mahasiswa, yang pertama adalah bagian dipublikasikan surat kepada Batallion, mahasiswa koran, di mana dia protes terhadap penindasan mindless disiplin yang freshmen terpaksa menjalani di tangan upperclassmen. Ia relished yang melihat dia marah pada petugas senior 'muka karena membacanya. Merespon ke jawab accusing dia kurangnya "bersemangat," ia menutup penned kata ini dalam kedua surat di Batalyon. Beilau wafat pada tahun 1962.

B.     Teori
Imajinasi Sosiologi
Dalam menganalisis atau melihat persoalan masyarakat perlu menggunakan imajinasi sosiologi. Maksud dari imajinasi sosiologi ini merupakan kemampuan untuk melihat relaitas mendalam dari hidup dalam konteks struktur sosial secara umum yang di bawa oleh teorinya C. Wright Mills sebagai seorang yang tidak pernah mengesampingkan prinsip-prinsip psikologis, ia mencoba mengaitkannya dengan masalah sosiologis dan struktrural. Imajinasi sosiologi merupakan kemampuan untuk memahami sejarah dan biografi serta hubungan-hubungan di antaranya dengan masyarakat. Imajinasi sosiologi ditulis dalam karya Mills dengan maksud untuk membedakan antara personal trouble dan public Issue. Kesulitan personal (personal trouble). Seperti dalam contoh personal trouble, jika dalam suatu daerah ada seorang penggangguran, maka pengangguran tersebut itulah yang disebut personal trouble dan jika dalam daerah terdapat 12 juta penganggur dari 18 juta jiwa maka itu disebut public Issu.
Imajinasi sosilogis merupakan gabungan dari dua cara penelitian yang disebut sebagai makroscopiks dan molecular. Makroscopiks berhubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam cara perbandingan beruang lingkup sama dengan ruang lingkup ahli sejarah dunia, mencoba menampilkan tipe-tipe fenomena historis dan secara sistematis menghubungkan berbagai lingkungan institusional masyarakat yang kemudian dikaitkan tipe-tipe manusia yang ada. Molecular ditandai oleh masalah-masalah berskala kecil dengan kebiasaan menggunakan model verifikasi statistilk (M.poloma, 2010).
Dalam karyanya Power Elite dan White Collar, Mills menggabungkan minatnya akan teori klasik dengan kerihatinan terhadap isu-isu sosial. Salah satu di antara banyak karya Mills ialah The Power Elite yang mengetengahkan saling berhubungan kekuatan tritunggal (ekonomi, politik dan militer). Dan yang mengenai White-Collar yang dari karya tersebut dibangun diatas pemikirannya Marx mengenai alienasi pekerjaan (Ritzer, 2003). Dalam kasus ini karyawan yang digaji dan bekerja secara rutin ternyata tidak mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan baik dalam bentuk produk barang apapun.



GEORGE C. HOMANS

A.    Biografi
George C. Homans lahir 11 Agustus 1910 di boston,massachussets. Homans belajar di sekolah lanjutan swasta di St. paulus di concord, New Hampshire dari tahun 1923-1928, lulus pada bidang Sastra Amerika dan Inggris pada 1932. Meskipun ia seorang pengacara, tetapi Homans juga terpilih menjadi mahasiswa doctor muda di Sosiologi Harvard (1934-1939). Selain mengajarkan tentang Sosiologi Homans juga mengajarkan tentang sejarah abad pertengahan. Dari sanalah ia mendapatkan anugrah sebagai Guru Besar Sosiologi setelah ia mengajar dan menjadi faculty member di Harvard dari tahun 1939-1941. Homans juga seorang associate professor dari tahun 1946-1953. Kemudian sebagai perwira angkatan laut selama perang dunia II, ia kembali ke Harvard sebagai anggota fakultas 1946-1971, sampai akhirnya pensiu. pada tahun 1980 Homans pensiun mengajar di Universitas Harvard.
Sebelum meninggal pada 29 mei 1989 di Cambrige Hospital karena penyakit hati terakumulasi, setahun sebelumnya itu ia melanjutkan menulis teks-teks yang menjelaskan tentang teori-teori sosial.

B.     Teori
TEORI PERTUKARAN-PERILAKU
Awalnya George C. Homans tidak menaruh perhatian masalah pertukaran sosial dalam mengadakan pendekatan terhadap masyarakat karena pada awalnya ia mengarahkan perhatian pada pendekatan fungsionalisme struktural. Pendekatan fungsionalisme struktural ternyata mempunyai arti yang sangat penting karena mampu memberi masukan terhadap teori sosiologi, terutama dalam hubungannya dengan struktur, proses dan fungsi kelompok sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul The Human Group. Menurut pendapatnya analisis fungsionalisme struktural mempunyai manfaat untuk menemukan dan memberikan uraian, akan tetapi pendekatan tersebut tidak mampu menjelaskan. Selanjutnya, berhubung pendekatan fungsionalisme struktural itu tidak dapat menjelaskan berbagai macam hal maka menurut pendapatnya dianggap sebagai suatu kegagalan.
Berhubung pendekatan fungsionalisme struktural dianggap gagal dalam memberikan fenomena-fenomena baru yang muncul dalam interaksi sosial di masyarakat maka ia berusaha menyempurnakannya dengan prinsip-prinsip pertukaran sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka ia tinggalkan pendekatan fungsionalisme struktural dan selanjutnya menyatakan tentang pentingnya pendekatan psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala sosial. Menurut pendapatnya dengan psikologi dapat dijelaskan mengenai faktor yang menghubungkan sebab dan akibat. Dalam hal yang menghubungkan antara sebab dan akibat hanya dapat dijelaskan oleh proposisi psikologi melalui pendekatan perilaku. Namun, pada mulanya ia juga menggunakan pendekatan ilmu ekonomi karena diasumsikan bahwa orang yang berperilaku itu memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Akan tetapi, ia juga berpendapat bahwa perilaku orang itu tidak semata-mata alasan ekonomi, melainkan juga karena adanya rasa kepuasan, harga diri dan persahabatan.
George C. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Adapun proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran sosial, yaitu:
a.       Proposisi sukses, artinya semakin perilaku itu memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku tersebut;

Contohnya, kita dapat berharap menerima gaji di akhir minggu setelah sarat dengan kerja berat, kita tahu bahwa siswa yang belajar sungguh – sungguh akan memperoleh nilai tinggi, atau kita temukan bahwa senyuman selalu mengundang sambutan hangat sebagai imbalannya.
Akan tetapi proposisi ini harus diseimbangkan dengan proposisi lain. Jelas bahwa tidak semua orang memilih untuk bekerja, tidak semua siswa belajar sebelum ulangan dan tidak semua orang member senyuman.
b.      Proposisi stimulus, artinya apabila stimulus menyebabkan adanya ganjaran maka pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila ada stimulus yang serupa;
c.       Proposisi nilai, artinya semakin tinggi nilai suatu tindakan maka semakin senang orang melaksanakan;
d.      Proposisi deprivasi satiasi, artinya semakin orang memperoleh ganjaran tertentu maka semakin berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan; Apa yang dikatakan Homans sebagai kunci penjelasan ialah kejenuhan dengan ganjaran tertentu.
e.       Proposisi restu-agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti yang diharapkan maka akan menyebabkan marah dan kecewa serta dapat menyebabkan perilaku yang agresif. Dalam proposisi berlapis ini Homans berbicara tentang perilaku emosional seseorang.
Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka.
Homans menekankan bahwa kelima proposisi itu saling berkaitan dan harus diperlakukan sebagai satu perengkat. Dalam analisis final, Homans menyatakan bahwa masyarakat dan lembaga – lembaga sosial itu benar – benar ada disebabkan oleh pertukaran sosial; dan ini akan dianalisa dengan kelima proposisi itu.

C.     Kritik
Kontradiksi yang palng parah dalam teori pertukaran sosial Homans ialah kepercayaannya bahwa dia sedang menghadapi psikologi, yaitu psikologi perilaku yang mempelajari manusia sebagai manusia, sebagai anggota spesies manusia, namun psikologi ini ternyata telah mengambil prinsip – prinsipnya dari perilaku binatang. Lebih menarik adalah kenyataan bahwa Homans kehilangan apa yang mungkin paling esensil dalam manusia. Berbeda dengan binatang, tindakan manusia tidak perlu dikaitkan dengan masa lalu mereka, tetapi manusia dapat bertindak sekarang, walaupun masa lalu menyediakan perhitungan berbagai kemungkinan masa depan yang menguntungkan mereka.





ERVING GOFFMAN
A.    Biografi
Erving Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922. Mendapat gelar S1 dari Univ. Toronto menerima gelar doctor dari Univ. Chicago. Beliau wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor dijurusan sosiologi Univ. Calivornia Barkeley serta ketua liga Ivy Univ. Pennsylvania. Erving Goffman, dianggap sebagai pemikir utama terakhir Chicago asli (Travers, 1922: Tselon, 1992); Fine dan Manning (2000) memandangnya sebagai sosiolog Amerika paling berpengaruh di abad 20. Antara 1950-an dan 1970-an Goofman menerbitkan sederetan buku dan esai yang melahirkan analisis dragmatis sebagai cabang interaksionisme simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di tahun-tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal karena teoridramtugisnya.
Goffman wafat tahun 1982 ketika berada di puncak ketenarannya. Ia sejak lama dianggap sebagai tokoh “pujaan” dalam teori sosiologi. Status ini dicapai meski ia telah lama menjadi profesor di jurusan sosiologi bergengsi di Universitas California, Berkeley dan kemudian menjadi ketua di Liga Ivy, Universitas Pennsylvania.

B.     Teori
Goffman memandang kehidupan sosial merupakan pertunjukan drama pentas. Menurut Goffman, diri bukanlah milik aktor, melainkan hasil interaksi dramatis antara aktor dan audiens.
Goffman juga memperkenalkan teknik yang digunakan aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam menghadapi masalah yang mungkin mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah ini. Goffman mengambil analogi teatrikal front stage dan back stage. Front stage adalah bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Termasuk di dalam front stage adalah setting dan front personal. Setting adalah pemandangan fisik yang biasanya harus ada jika aktor memainkan perannya, sedangkan front personal berarti berbagai macam barang perlengkapan yang bersifat menyatukan perasaan yang memperkenalkan audiens dengan aktor dan perlengkapan itu diharapkan audiens dipunyai oleh aktor.
Di dalam front personal terdapat penampilan dan gaya. Penampilan ialah berbagai jenis barang yang mengenalkan kita kepada status sosial aktor, sedangkan gaya mengenalkan penonton terhadap peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu. Front personal menurut Goffman cenderung melembaga, sehingga memunculkan representasi kolektif mengenai apa yang terjadi di front tertentu. Dengan penjelasan lain bahwa peran yang akan dimainkan oleh aktor telah ditentukan bidang pertunjukannya. Pemikiran Goffman tersebut telah memperlebar pendekatannya yang memiliki citra struktural, tak hanya bersifat interaksionisme simbolik.
Orang pada umumnya mencoba mempertunjukkan gambaran yang sempurna mengenai diri mereka sendiri di hadapan umum, sehingga terkadang mereka menyembunyikan rahasia pribadi dari hadapan orang banyak. Peran dalam sudut pandang dramaturgi ialah konsekuensi dari status seseorang. Peran sendiri dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu peran yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti seorang dokter, polisi, dosen, supir taksi, dll. Ada pula peran keluarga seperti seorang ayah, nenek, ibu, anak, dll, yang terakhir peran orang ke orang, seperti tetangga, teman, dll. Status seseorang dapat dilihat dari sejauh mana seseorang memerankan perannya dengan baik.
Konsep Framing : Stereotipe, Stigma, dan Analisis Framing
Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan (discreditable stigma). Orang yang direndahkan ialah orang yang memiliki cacat atau kekurangan yang kasat mata, seperti orang pincang, orang buta, dll. Sedangkan orang yang dapat direndahkan memiliki aib yang tak kasat mata, seperti pelaku homoseks.
Stereotipe merupakan generalisasi atas status seseorang berdasarkan kelompok atau grup yang diikutinya, sebagai contoh, seorang dokter yang bekerja di sebuah klinik yang sedang tertimpa kasus malpraktek, walaupun ia bukanlah dokter yang dimaksud, namun pandangan audiens terhadapnya adalah curiga terhadap kemungkinan malpraktek juga.
Analisis framing merupakan definisi situasi yang dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang mengatur peristiwa-peristiwa, paling tidak peristiwa sosial, dan keterlibatan subyetif kita di dalamnya. Dengan arti, kita belajar memaknai suatu peristiwa dan realitas  sesuai dengan pengalaman yang telah kita dapatkan dalam suatu organisasi sosial masyarakat yang kemudian menjadi tindakan kita
C.     Kritik
Teori ini dianggap tidk mendukung pemahaman bahwa dalm tujuan sosiologi yakni kekuatan “masyarakat”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila dihadapan dengan peran kemasyarakatan.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut faham ini menyatakan adanya kesamaaan antara sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan yang tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.
HERBERT BLUMER
A.    Biografi
Blumer lhir pada tanggal 7 Maret 1900 di St Louis, Missouri. Ia dibesarkan di Webster Grove, bersama orang tuannya. Bersekolah di Webster Groves High School lalu melanjutkan ke perguruan tinngi University of Missouri 1918-1922 setelah lulus, dia mendapatkan posisi mengajar di university of Missouri, pada tahun 1925 ia pindah ke universitas Chicago dimana ia sangat dipengaruhi oleh psikolog sosial Herbert Mead, dan sosiolog Thomas dan Robert Park. Setelah menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1928, ia menerima posisi mengajar di universitas Chicago, dimana ia melanjutkan penelitian sediri.

B.     Teori
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita. Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person).
Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial. Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita. Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.
C.     Kritik
Dituduh terlalalu mudah membuang teknik ilmiah konvensional, konsep dasar teori interaksionalisme simbolik dinilai keliru, tidak tepat dan tak mampu menyedeiakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset. Interaksionalisme simbolik dikritik karena meremehkan atau mengabaikan peran struktur berskla luas. Interaksionalime simbolik tidak cukup mikroskopik, mengabaikan peran penting faktor sepeti ketidak sadaran dan emosi.

ANTONIO GRAMSCI
A.    Biografi
Antonio Gramsci, lahir di Italia, pada tanggal 22 Januari 1891. Meski terlahir dari keluarga kelas bawah, ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Turin setelah mendapatkan beasiswa.
Gramsci dikenal sebagai aktivis gerakan-gerakan sosial di Turin, Italia, sewaktu masih bertitel mahasiswa. Dari sini, aktivitasnya sebagai seorang aktivis terus meroket. Tahun 1913, ia bergabung dengan Partai Sosialis Italia, sembari bekerja di media massa kaum sosialis di Turin. Aktivitasnya juga diimbangi dengan perkembangan dalam bidang pemikiran. Ia fokus pada perlawanan terhadap ideologi dominan yang disebar-luaskan oleh negara.
Menginjak tahun 1922, Gramsci pindah ke Rusia dan bekerja di Moskow Wina hingga tahun 1924. Di sinilah ia mulai melancarkan pemikiran-pemikiran kritis tentang sosialisme. Setelah itu ia kembali ke Italia dan tak lama kemudian terpilih sebagai anggota parlemen pada tahun 1924, sebagai wakil dari golongan sosialis.
Tahun 1926 ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pemerintahan fasis Mussolini. Namun layaknya pemikir-pemikir lain, suasana kesendirianlah yang melecut daya intelektualnya untuk menuangkan pikiran-pikiran. Di sana ia tuangkan konsepnya mengenai apa yang disebut organic intellectuals. Sejak saat itu, buah-buah pemikirannya seperti sedang panen. Pemikiran tentang hegemony, negara dan civil society, berbuah pada masa itu.
Ke semua pemikirannya tertumpah dalam 34 buku catatan harian Gramsci, yang ditulisnya dalam masa pengawasan ketat dan pesakitan. Masing-masing buku harian berisi beberapa konsep. Pilihan dari isi diary-nya ini yang nantinya disulap menjadi buku berjudul The Prison Notebooks.
Singkat cerita, setelah menderita sakit berkepanjangan, 27 April 1937 Gramsci tewas meregang nyawa di kamar penjaranya sendiri. Adalah Tatiana, seseorang yang mengurus pemakamannya, yang berhasil “mengamankan” catatan harian ilmiah itu.

B.     Teori
Hegemoni Gramsci menekankan kesadaran moral, dimana seseorang disadarkan lebih dulu akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak akan merasa dihegemoni lagi melainkan dengan sadar melakukan hal tersebut dengan suka rela. Jadi terdapat dua jenis hegemoni, yang satu melalui dominasi atau penindasan, dan yang lain melalui kesadaran moral. Hegemoni dengan dominasi atau penindasan merupakan hegemoni konsep Marxis ortodoks, biasanya bernuansa negatif. Sementara itu hegemoni menurut Gramsci, adalah hegemoni dengan kepemimpinan intelektual dan moral, biasanya bernuansa positif.
Hegemoni Gramsci memuat ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan sosial secara radikal dan revolusioner. Gagasan hegemoni Gramsci telah mengadung isu-isu pokok dalam studi kultural, seperti tentang pluralisme, multikultural, dan budaya marginal. Jadi hegemoni Gramsci menolak konsep-konsep yang mengedepankan kebenaran mutlak, baik yang terkandung dalam Marxisme maupun non-Marxisme.
Agar masyarakat tidak merasa dihegemoni, perlu adanya pengarahan konsep pemikiran oleh suatu konsensus. Konsensus dapat dilaksanakan melalui lembaga sosial, atau dapat juga konsensus dilaksanakan melalui penanaman ideologi. Menurut Gramsci, ideologi tidak otomatis tersebar dalam masyarakat, melainkan harus melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya.
Kata intelektual dalam hegemoni Gramsci dipahami sebagai suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas. Jadi intelektual bisa mencakup bidang kebudayaan atau administrasi politik, mereka mencakup kelompok-kelompok misalnya dari pegawai yunior dalam ketentaraan sampai dengan pegawai yang lebih tinggi. Dengan pengertian setiap kelompok sosial dalam lapangan ekonomi menciptakan satu atau lebih strata intelektual, akan memberikan homogenitas dan suatu kesadaran mengenai fungsinya sendiri.
Seiring dengan perkembangan teknologi, dominan budaya, politik dan ekonomi bisa menguasai dari satuan yang besar hingga satuan yang kecil. Satuan besar yaitu negara, satuan kecil hingga perorangan. Perlu disadari hegemoni sekarang bisa dipahami sebagai dominansi dari budaya negara maju terhadap negara berkembang. Jadi hegemoni tidak semata-mata dalam bentuk penindasan/penguasaan secara fisik, tetapi bisa penguasaan secara wacana. Hegemoni wacana inilah yang berbahaya, karena manusia tidak sadar bahwa dia telah dihegemoni.
C.     Kritik
Perry Anderson melakukan kritik pedas tentang teori hegemoni kultural dan intelektual Gramsci, dengan mengatakan bahwa Gramsci terlalu mempermudah pemahaman tentang ruang kebebasan publik (pers) dan kekuatan politik koersif dari negara dan pemerintah terhadap pers.
PETER L. BERGER
A.    Biografi
Peter Ludwig Berger lahir pada 17 Maret 1929 di Vienna, Austria dan dibesarkan di Wina. Ayahnya George William Berger dan Ibunya Jelka Loew Berger adalah Pebisnis. Berger menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengahnya di Wina dan kemudian beremigerasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949 ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952). Di sini, Berger banyak belajar pada pemikir besar seperti: Alfred Schutz, Carl Mayer dan juga A. Solomon. Di The New School for Social Research ini pula Berger bertemu dengan temannya yaitu Thomas Luckman, dimana nantinya mereka menulis bersama sebuah buku berjudul “The Social Construction of Reality” yang terbit pada tahun 1966.
Tahun 1952, berger secara resmi menjadi warga Negara Amerika serikat. Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Ia menikah taggal 28 september 1959 dengan Brigitte Kellner dan memiliki 2 orang anak yakni Thomas Ulrich dan Michael George Berger.


B.     Teori
Pemikiran Peter L. Berger terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta Mead tentang “interaksi simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme.
Pendapat Peter L. Berger tentang teori konstruksi sosial adalah bahwa:
a.       Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya
b.      Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan
c.       Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus
d.      Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
C.     Kritik
Pada kenyatannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu yang lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, di mana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan ke bawahannya, pimpinan kepada massanya, kyai kepada santrinya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, dan sebagainya.
Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman ini memiliki kemandulan dan ketajaman atau dengan kata lain mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat transisi-modern di Amerika Serikat telah habis dan berubah menjadi masyarakat modern dan postmodern, dengan demikian hubungan-hubungan sosial antarindividu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semi-sekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Maka, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman menjadi tidak bermakna lagi.

DANIEL BELL
A.    Biografi
Lahir sebagai anak dari pasangan miskin pekerja pabrik garmen di tepi Timur Manhattan, New York, tgl 10 Mei 1919, Daniel Bell adalah sosok yang, berdasarkan pengakuannya sendiri, mungkin memang sudah ditakdirkan untuk menjadi sosiolog. Di masa remaja ia hidup dalam kepapaan ekonomis ketika dunia sedang menyaksikan sebuah era paling mencekam dengan naiknya Hitler. Ia sudah bergelut dengan problem-problem sosial bahkan sejak masih muda belia. Tahun 1932, pada umur 13 tahun, misalnya, ia bergabung dengan Liga Pemuda Sosialis (Young People’s Socilist League), yang secara luas dikenal sebagai Yipsel, divisi pemuda Partai Sosialis.

B.     Teori
Menurut Bell, konsep masyarakat post-industri dapat dipahami lewat lima dimensi atau komponen. Dimensi pertama menyangkut sektor ekonomi yaitu dimana masyarakat penghasil barang beralih menjadi penghasil barang. Hal ini dikarenakan industri yang semakin maju, semakin besar prosentase angkatan kerja yang bergerak meninggalkan sektor pertanian menuju ke sektor manufaktur ekonomi. Dimensi kedua terjadi di lapangan pekerjaan yaitu terdapat perubahan dalam jenis kerja seperti keunggulan kelas profesional dan teknis. Jenis pekerjaan yang menjadi jantung pada masyarakat post industri antara lain adalah para ilmiawan, insinyur, teknis. Dimensi ketiga ialah pemusatan pengetahuan teoritis sebagai inovasi pembentuk kebijaksanaan bagi masyarakat. Di sini teoritis-abstrak lebih unggul dari pengetahuan yang konkrit(penemuan) karena pengetahuan teoritis dianggap penting sebagai sumber keputusan-keputusan kebijakan. Demensi keempat  ialah orientasi masa depan yang mengendalikan teknologi. Dengan kata lain masyarakat post-industri bisa berencana dan mengontrol pertumbuhan teknologi . dimensi kelima mencakup pengambilan keputusan dan penciptaan teknologi intelektual baru. Dimensi ini berhubungan dengan metode atau cara memperoleh pengetahuan.
Dalam masyarakat post industri terjadi perubahan bentuk ekonomi yaitu dari barang ke jasa. Karena masyarakat post industri bertumpu pada informasi, kaum profesional semakin dibutuhkan. Hal tersebut disebabkan para kaum profesional tersebut memiliki informasi yang diperlukan. Dalam hal ini, ramalan sosial bertugas mengidentifikasikan beberapa rintangan terhadap perubahan arah masyarakat yang berorientasi jasa tersebut. Salah satunya adalah rintangan produktivitas. Bell menyatakan bahwa produktivitas dan output yang berupa barang tumbuh lebih cepat  daripada jasa-jasa. Dalam jasa terdapat hubungan antara orang dengan orang daripada orang dengan mesin. Karena ketergantungan tersebut merupakan ketergantungan terhadap orang yang jasa-jasanya tetap harus dibayang maka biaya terus meningkat.








DAFTAR PUSTAKA