KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis
banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan akan kurangnya pengetahuan.
Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah inin dapat
terselesaikan , walaupun masih terdapat kekurangan didalamnya.
Karena itu, sepantasnya jika penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
Allah SWT
Drs. Sakrim Miharja, M.Ag. selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan masukan-masukannya.
Kedua orang tua yang telah memberi
dukungan baik secara materi ataupun moral.
Dan kepada teman-teman,terimakasih telah
memberi dukungan dan doanya.
Penulis menyadari makalah ini masih
memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengaharapkan adanya
kritik dan saran yang positif supaya makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya
guna di masa yang akan datang.
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan
penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali
digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium
Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September
1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan
bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban
maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah
gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai
kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial
yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
B. Perumusan Masalah
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering
diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari
masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani
sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which
takes place outside of government and the market.”
C. Tujuan Penulisan
Tulisan
ini didedikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang
berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Antara lain adalah dengan
menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui
perspektif pendidikan.
BAB
II
MASYARAKAT
MADANI
A.
PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Kemungkinan
akan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komonitas bangsa ini akan
mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang yakni
masyarakat madani. Marupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang.
Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadinya
masa transformasi dari masyarakat feodal manuju masyarakat barat modern yang
lebih terkenal lagi dengan civil society.
Dalam
mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social
cultular suatu bangsa,karena tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat.
Sebagai titik tolak, disisi dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani :
Pertama; Definisi yang dikemukakan oleh
Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet.
Ia mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang
berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani
adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civilsociety
Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentinganpublik.
Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civilsociety
Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentinganpublik.
Jadi,
dapat disimpulkan dari beberapa definisi di atas pengertian masyarakat madani
adalah masyarakat yang beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan,
dan teknologi.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT
MADANI
Untuk
memahami masyarakat Madani terlebih dahulu harus dibangun paradigma bahwa
konsep masyarakat Madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah
jadi, melainkan merupakan sebuah proses wacana yang harus dipahami sebagai
suatu proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah dianalisis secara
historik.
Seperti telah dipaparkan di atas, bahwa
wacana masyarakat Madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik
dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses tranformasi dari pola
kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Jika
dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat Madani
dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan De’Tocquiville.
Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Raharjo, wacana
masyarakat madani sudah mengemukakan pada masa Aristoteles. Pada masa ini
(Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat Madani dipahami sebagai kenegaraan dengan
menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas
percaturan tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan
ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah Koinonia politike
yang dikemukakan oleh Aistoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama
di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang
disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai
substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di
antara warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus
Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah Societe civiole, yaitu
sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Terma yang dikedepankan oleh
Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state),
yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai
satu kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat Madani yang eksentuasinya
pada sistem kenegaraan dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes, (1588-1679M) dan
Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat Madani harus memiliki
kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat
pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara Jhon
Locke, kehadiran masyarakat Madani dimaksudkan untuk menlindungi kebebasan dan
hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak
boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa
dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk
memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani
ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan
politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi
perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya
kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan
konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi
munculnya kembali depositme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas
sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi
serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.
Kemudian pada tahun 1972, muncul wacana
masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya.
Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1973-1803) yang menggunakan istilah
masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara
diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara.
Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine adalah ruang di mana
warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya
suatu gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara di
dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh
karenanya, maka masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara
demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society
selanjutnya dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1832 M), Karl Marx (1818-1883)
dan Antonio Gramsci (1891-1873). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan
oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi
kelas dominan. Pemahaman ini lebih merupakan sebuah reaksi dari model
pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani
merupakan kelompok bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel masyarakat
madani merupakan kelompok subkordinatif dari negara. Pemahaman ini, menurut
Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (Burgerlische
gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan
dari dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa struktur
sosial terbagi atas 3 (tiga) entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan
negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat
yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat
berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan politik golongan terutama
kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang
bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk
intervensi terhadap masyarakat madani. Oleh karenanya, maka intervensi negara
terhadap wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena
negara sekali lagi merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara
politik bisa berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat madani pada
kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu
mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan
pada intuisi yang lebih tinggi, yakni negara. Karenaya, negara dan masyarakat
madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat
madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis,
keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan.
Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi
produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan
masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakannya pada
superstaruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political
society. Masyarakat madani merupakan tempat perbuatan posisi hegemonik di luar kekuatan
negara. Membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang
merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial politik. Gramsci dengan
demikian melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat madani,
sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material
(ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani
dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada
pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani
sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan
politik dan masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai
daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik
di dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan
mengontrol kekuatan negara.
Tidak seperti yang dikembangkan oleh
Hegeilen, paradigma de’ Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat madani
sebagai sesuatu yang apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat
otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi
kekuatan penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan
intervensionis negara. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi
negra serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektif
(reflective-force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai
akibat proses formasi modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada
ketinggian individual, tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.
Dari berbagai model pengembanganm madani di
atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro
demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar dasawarsa 80-an. Pengalaman
Eropa Tengaj dan Timur tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas
masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti bahwa
gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga
diri mereka sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian
menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman
negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian
masyarakat.
C. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani,
diantaranya:
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.
Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program
pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang
berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan
individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu
memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.
Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada
mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6.
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan
kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan
orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.
Adanya pembebasan masyarakat melalui
kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8.
Bertuhan, artinya bahwa masyarakat
tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan
menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.
Damai, artinya masing-masing elemen
masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain
secara adil.
10.
Tolong menolong tanpa mencampuri urusan
internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11.
Toleran, artinya tidak mencampuri
urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan
manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda
tersebut.
12.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban
sosial.
13.
Berperadaban tinggi, artinya bahwa
masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak
mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat
madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari
akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat
madani sebagai
berikut:
1. Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.
Berkembangnya modal manusia (human
capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya
kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan
relasi sosial antar kelompok.
3.
Tidak adanya diskriminasi dalam
berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap
berbagai pelayanan sosial.
4.
Adanya hak, kemampuan dan kesempatan
bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum
dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.
Adanya kohesifitas antar kelompok dalam
masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan
kepercayaan.
6.
Terselenggaranya sistem pemerintahan
yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara
produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan,
kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada
jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang
sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan
sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu
yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois
dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat
menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme
versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2.
Pluralisme versus rasisme. Pluralisme
menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan
penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang
memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan
permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme
budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman.
Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap
perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
3.
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah
ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme
sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara
genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras
memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada
tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada
tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan
perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara
struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial
memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga
lainnya.
4.
Elitisme dan communalisme. Elitisme
merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial
berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
5. Konsep
Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang
berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan
implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini,
masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis
kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar
lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
D. PILAR PENEGAK
Yang
dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi
bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan
penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi
persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar
tersebut antara lain adalah:
1. Lembaga
Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat
yang tugas esensinya adalah membantu dan menperjuangkan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang tertindas.
2. pers
merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena
kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang
dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan warga negaranya.
3. Supremasi
Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun
sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4. Perguruan
tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa)
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada
jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi
berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang
dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.
5. Partai
politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya
E.
MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawan bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
Larry
Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap
proses demokrasi;
Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya
politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan
pejabat Negara.
Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani,
bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi.
Ketiga,
Memperkaya
partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
Keempat ikut menjaga stabilitas Negara.
Kelima, tempat pimpinan politik dan
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter
dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif Negara.
Dalam
masyarakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk
mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap
individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat
kemandirian.
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyrakat madani dari tekanan dan Negara
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyrakat madani dari tekanan dan Negara
F.MASYARAKAT MADANI INDONESIA
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.
Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.
Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut Dewan ada tiga Strategi yang
salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat
madani Indonesia.
1. Strategi
yang lebih mementingkan intregrasi nasional dan politik, Strategi ini
berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung, dalam masyarakat
yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2. Strategi
yang kuat mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi, Strategi ini
berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3. Strategi
yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah
demokrasi.
G. NGO DAN MASYARAKAT MADANI
Istilah
organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Governmental
Organization) yang telah lama dikenal dalam pergaualan internasional.
Istilah NGO merujuk pada organisasi nonnegara yang mempunyai kaitan dengan
badan-badan PBB atau mitra organisasi ini ketika berinteraksi dengan organisasi
nonpemerintah. Istilah itu perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas
internasional.
Ketika
masuk ke Indonesia, istilah asing ini tidak memunculkan persoalan. Namun, saat
dialihbahasakan dari NGO menjadi organisasi nonpemerintah dalam sebuah
Konferensi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada 1976, pemerintah Indonesia
bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang sependapat dengan istilah itu
karena dinilai merujuk pada dikotomi ideologis maupun politis antara pemerintah
(government) dan nonpemerintah (non-goverenment). Mereka yang
tidak setuju menggunakanistilah itu, berargumen bahwa pengertian organisasi
nonpemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan
organsiasi pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni,
olah raga, dan lain-lain. Padahal NGO yang dimaksud lebih khusus, yaitu
berhubungan langsung dengan pembangunan.
Berdasarkan pengalaman sejarah, dikenal istilah
“Non” dan “Co”: ketika dijajah Belanda, ada sekelompok masyarakat yang bekerja
sama dengan Belanda (golongan Co) dan ada kelompok yang menolok kerja sama
(golongan Non). Istilah NGO atau organisasi nonpemerntah dapat diartikan atau
dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah.
BAB III
KESIMPULAN
Kemungkinan akan adanya kekuatan
civic sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah
wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani.Dalam
mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi
sosiokultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani
merupakan bangunan terma terakhir dari sejarah perdaulatan bangsa Eropa Barat. Menurut
Aristoteles (384-322) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan
dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah komunitas politik tempat
earga dapat terlibat langsung dalam berbagai peraturan ekonomi politik dan
penagmbilan keputusan). Karakteristik masyarakat madani diperlukan
persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalma penegakkan
masyarakat madani. Dan masyarakat madani juga harus mampunyai pilar-pilar
penegak, karena berfungsi sebagai mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Hubungan antara masyarakat madani dengan
demokratis menurut Dewan bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya bersifat
ko-eksistensi. Berkembanganya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan
kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan
berpendapat,berserikat,dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum
kemudian dilanjutkan denagn munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah
mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.
DAFTAR
PUSTAKA
http://yanawulan.blogspot.com/2012/06/pengertian-masyarakat-madani-dan.html
http://www.masbied.com/2012/02/14/sejarah-perkembangan-masyarakat-madani/
http://makalah85.blogspot.com/2008/12/masyarakat-madani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar