Rabu, 18 Mei 2016

MAKALAH MASYARAKAT MADANI




KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan akan kurangnya pengetahuan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah inin dapat terselesaikan , walaupun masih terdapat kekurangan didalamnya.
Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Allah SWT
Drs. Sakrim Miharja, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan masukan-masukannya.
Kedua orang tua yang telah memberi dukungan baik secara materi ataupun moral.
Dan kepada teman-teman,terimakasih telah memberi dukungan dan doanya.
Penulis menyadari makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengaharapkan adanya kritik dan saran yang positif supaya makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.





Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
   Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B. Perumusan Masalah
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.”

C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini didedikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan.



BAB II
MASYARAKAT MADANI

A. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Kemungkinan akan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komonitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang yakni masyarakat madani. Marupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadinya masa transformasi dari masyarakat feodal manuju masyarakat barat modern yang lebih terkenal lagi dengan civil society.
Dalam mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social cultular suatu bangsa,karena tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disisi dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani :
Pertama; Definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
            Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civilsociety
            Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentinganpublik.
           
Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa definisi di atas pengertian masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Untuk memahami masyarakat Madani terlebih dahulu harus dibangun paradigma bahwa konsep masyarakat Madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, melainkan merupakan sebuah proses wacana yang harus dipahami sebagai suatu proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah dianalisis secara historik.
Seperti telah dipaparkan di atas, bahwa wacana masyarakat Madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses tranformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan  masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat Madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan De’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Raharjo, wacana masyarakat madani sudah mengemukakan pada masa Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat Madani dipahami sebagai kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas percaturan tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah Koinonia politike yang dikemukakan oleh Aistoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah Societe civiole, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai satu kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat Madani yang eksentuasinya pada sistem kenegaraan dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes, (1588-1679M) dan Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat Madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara Jhon Locke, kehadiran masyarakat Madani dimaksudkan untuk menlindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depositme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.
Kemudian pada tahun 1972, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1973-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1832 M), Karl Marx (1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1873). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini  lebih merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani merupakan kelompok bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subkordinatif dari negara. Pemahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (Burgerlische gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan dari dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 (tiga) entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan politik golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani. Oleh karenanya, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena negara sekali lagi merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara politik bisa berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat madani pada kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada intuisi yang lebih tinggi, yakni negara. Karenaya, negara dan masyarakat madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada  sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakannya pada superstaruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perbuatan posisi hegemonik di luar kekuatan negara. Membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial politik. Gramsci dengan demikian melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di  dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegeilen, paradigma de’ Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai sesuatu yang apriori subordinatif terhadap  negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan  penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensionis negara. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negra serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflective-force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada ketinggian individual, tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.
Dari berbagai model pengembanganm madani di atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar dasawarsa 80-an. Pengalaman Eropa Tengaj dan Timur tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.

            C. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8.      Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.      Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.  Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11.  Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.  Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.  Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14.  Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).




Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sebagai berikut:
1.      Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.      Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3.      Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.      Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.      Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.      Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.      Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1.      Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2.      Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
3.      Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
4.      Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
5.      Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.

            D. PILAR PENEGAK
Yang dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut antara lain adalah:

1.      Lembaga Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat yang tugas esensinya adalah membantu dan menperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.
2.      pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
3.      Supremasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4.      Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.

5.      Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi            politiknya

E. MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI

            Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawan bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses demokrasi;
Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara.
Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi.
Ketiga, Memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
Keempat ikut menjaga stabilitas Negara.
Kelima, tempat pimpinan politik dan
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.

            Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif Negara.
Dalam masyarakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian.
Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyrakat madani dari tekanan dan Negara

F.MASYARAKAT   MADANI       INDONESIA
            Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
            Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.
Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
            Menurut Dewan ada tiga Strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani Indonesia.
1.       Strategi yang lebih mementingkan intregrasi nasional dan politik, Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung, dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.       Strategi yang kuat mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi, Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3.       Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokrasi.

            G. NGO DAN MASYARAKAT MADANI   
Istilah organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Governmental Organization) yang telah lama dikenal dalam pergaualan internasional. Istilah NGO merujuk pada organisasi nonnegara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB atau mitra organisasi ini ketika berinteraksi dengan organisasi nonpemerintah. Istilah itu perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional.
Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing ini tidak memunculkan persoalan. Namun, saat dialihbahasakan dari NGO menjadi organisasi nonpemerintah dalam sebuah Konferensi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada 1976, pemerintah Indonesia bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang sependapat dengan istilah itu karena dinilai merujuk pada dikotomi ideologis maupun politis antara pemerintah (government) dan nonpemerintah (non-goverenment). Mereka yang tidak setuju menggunakanistilah itu, berargumen bahwa pengertian organisasi nonpemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organsiasi pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga, dan lain-lain. Padahal NGO yang dimaksud lebih khusus, yaitu berhubungan langsung dengan pembangunan.
 Berdasarkan pengalaman sejarah, dikenal istilah “Non” dan “Co”: ketika dijajah Belanda, ada sekelompok masyarakat yang bekerja sama dengan Belanda (golongan Co) dan ada kelompok yang menolok kerja sama (golongan Non). Istilah NGO atau organisasi nonpemerntah dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah.  


BAB III
KESIMPULAN
Kemungkinan akan adanya kekuatan civic sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani.Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosiokultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma terakhir dari sejarah perdaulatan bangsa Eropa Barat. Menurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah komunitas politik tempat earga dapat terlibat langsung dalam berbagai peraturan ekonomi politik dan penagmbilan keputusan). Karakteristik masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalma penegakkan masyarakat madani. Dan masyarakat madani juga harus mampunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.  Hubungan antara masyarakat madani dengan demokratis menurut Dewan bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya bersifat ko-eksistensi. Berkembanganya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat,berserikat,dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan denagn munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.








DAFTAR PUSTAKA

http://yanawulan.blogspot.com/2012/06/pengertian-masyarakat-madani-dan.html

http://www.masbied.com/2012/02/14/sejarah-perkembangan-masyarakat-madani/

http://makalah85.blogspot.com/2008/12/masyarakat-madani.html


Tidak ada komentar: